Ciri Khas Batik Jogja – Batik Yogyakarta atau batik Jogja merupakan bagian dari budaya Jawa. Setiap motif batik tulis dalam bahasa Jogja yang ada di setiap daerah memiliki bentuk dan makna tersendiri. Motif dan bentuk tersebut mencerminkan falsafah hidup masyarakat setempat. Batik Yogyakarta memiliki variasi tersendiri. Batik tradisional lingkungan keraton Yogyakarta bercirikan warna putih sebagai warna dasar yang sangat murni. Pola geometris keraton Yogyakarta sangat ekspresif, besar, dan ada pula yang diperkaya dengan parang dan tali. Motif kain batik Yogyakarta antara lain :
Motif batik Yogyakarta ini seringkali mencakup berbagai pola geometris berdasarkan mawar bulat, bintang, atau bentuk kecil lainnya yang membentuk pola simetris yang umum pada barang batik Yogyakarta. Grompol berarti mengumpulkan atau menggabungkan dalam kosa kata bahasa Jawa. Artinya keinginan orang tua agar segala sesuatunya baik yaitu kebahagiaan, keharmonisan hidup, kebahagiaan dan kedamaian bagi kedua mempelai dan keluarga mempelai. Selain itu, grompol juga melambangkan harapan agar kedua mempelai dapat berkumpul menjadi satu atau mengingat keluarga besarnya kemanapun mereka pergi. Harapan lainnya adalah agar semua kerabat dan tamu undangan berkumpul dan melangsungkan pernikahan dengan bahagia.
Ciri Khas Batik Jogja
Batik Yogyakarta motif kawung disusun memanjang menurut 4 bentuk lingkaran atau elips, dan garis diagonal miring silih berganti ke kiri atau ke kanan. Mewakili 4 arah mata angin atau sumber energi yang mengelilingi dan berputar di pusat kekuasaan, yaitu: Timur (matahari terbit: lambang sumber kehidupan), Utara (gunung: lambang tempat tinggal para dewa, tempat kedudukan para dewa). Roh. ). /kematian), barat (matahari terbenam: jatuhnya kebahagiaan ) selatan (puncak: puncak segala sesuatu).
Batik Tulis Kawung
Dalam hal ini raja sebagai pusat atau episentrum dikelilingi oleh rakyatnya. Kerajaan adalah pusat seni, budaya, ilmu pengetahuan, pemerintahan, agama dan ekonomi. Rakyat harus tunduk pada pusat, tetapi raja selalu melindungi rakyatnya. Kawung juga melambangkan kerendahan hati seorang raja yang selalu mengutamakan kesejahteraan rakyatnya. Batik Yogyakarta dengan motif Kawung juga melambangkan keadilan dan kemakmuran.
Sebagian orang mengira kawung adalah sejenis pohon enau atau aren, yang mereka sebut “kolang-kaling” dengan buah berbentuk bulat, lonjong, berwarna putih agak bening. Pendapat lain mengatakan bahwa kawung adalah bentuk pensterilan bunga teratai yang berarti kesucian dan kesucian. Pada periode klasik (di bawah pengaruh Hindu Buddha), teratai adalah simbol para dewa. Oleh karena itu, batik Yogyakarta motif kawung dapat diartikan murni, suci, segala sesuatu dari putih ke putih. Pada dasarnya dapat disimpulkan bahwa motif kawung berbentuk lonjong atau elips.
Motif parang dari Yogyakarta disebut motif batik keris atau motif pedang oleh masyarakat internasional. Dalam masyarakat Jawa, bahasa motif api biasa disebut Parang atau nyala api. Parang merupakan salah satu motif batik yang paling kuat diantara motif batik lainnya. Motif parang berupa garis-garis sejajar diagonal yang kokoh. Motif Golok sendiri berkembang dan memunculkan motif lain seperti Syngan Parang, Barong Parang, Kusuma Parang, Pamo Parang, Clitic Parang dan Sobrah Slop. Sebagai penciptanya adalah pendiri keraton Mataram, secara garis besar motif golok ini hanya bisa digunakan oleh raja dan keturunannya dan tidak bisa digunakan oleh rakyat biasa. Kemudian batik jenis ini termasuk dalam golongan “batik terlarang”.
Dilihat lebih dalam, garis lengkung bermotif parang pada batik Yogyakarta sering dimaknai sebagai gelombang laut, pusat energi alam, yang dalam hal ini melambangkan raja. Susunan miring pada motif golok juga merepresentasikan kekuatan, kekuatan, keagungan dan gerakan yang gesit, sehingga penggunanya bergerak dengan cepat. Menurut Marie S. Kondronegoro, pada zaman Sri Sultan Hamengku Buwon VIII motif parang menjadi pedoman utama untuk menentukan tingkat kebangsawanan seseorang dan menjadi pedoman yang tertuang dalam Pranathan Dalem 2727 Pranathan Dalem asmanipun Panganggo Keprabon Wonten Kraton Nagari Ngayogjakarta Hadingningrat . “Selain motif Parang Patah Barong, motif Batik Larangan saat itu adalah Semen, Udan Liris, Sawat dan Jemungkiran,” jelasnya.
Batik Gaya Yogyakarta
Batik Yogyakarta memiliki motif miring berupa pola barisan miring di antara motif parang. Selain itu, banyak pola adalah deretan garis diagonal sempit yang diisi dengan pola kecil. Batik Yogyakarta dengan motif lereng bukit merupakan salah satu pola tertua yang diperuntukkan bagi keluarga kerajaan. Salah satu motif lereng yang umum adalah udang liris (hujan ringan). Motif miring batik Yogyakarta melambangkan kesuburan, harapan akan kemakmuran, keteguhan hati, keberanian untuk berprestasi, yang penting bagi bangsa dan rakyat.
Motif batik nitik Yogyakarta sebenarnya berasal dari pengaruh asing yang berkembang di pantai utara Laut Jawa, dan akhirnya berpindah ke pedalaman dan menjadi motif yang sangat indah. Ketika para pedagang dari Gujarat datang ke pantai utara Jawa, barang dagangannya berupa kain dan bahan sutera khas Gujarat. Motif dan kainnya geometris dan sangat indah, dibuat dengan menggunakan teknik tenun ganda yang disebut ‘Patola’ yang dikenal sebagai kain ‘cinde’ dalam bahasa Jawa. Warna yang digunakan adalah merah dan biru nila. Selain bujur sangkar dan persegi panjang, Nitik di Yogyakarta dihias dengan adanya corak batik lain, seperti cecek (cecek 7, cecek 3) dan ada pula yang memiliki ragam hias batik yang meliputi klowong dan tembok. Pekalongan berbeda dengan motif Jlamprang dalam bentuk dan warna.
Batik Yogyakarta dengan motif nitik menggunakan nila, soga (coklat) dan putih. Seperti motif batik lain yang berasal dari Kraton, motif Nitika yang dikembangkan Kraton berkembang di luar tembok Kraton. Lingkungan Krato Yogyakarta yang terkenal dengan motif Nitik yang indah adalah Ndalem Brongtodininrat. Pada tahun 1940, Brongtodininrat pernah membuat dokumen tentang laut berupa batik dan lima puluh enam motif Nitika. Desa Wonokromo dekat Kotagede, seorang pembatik yang telah membatik Nitik sekitar tahun 1950 hingga sekarang.
Seperti motif batik lainnya, kain batik Yogyakarta dengan desain nitik juga memiliki makna filosofis, contohnya paku nitik yang sering digunakan dalam upacara pernikahan adat. Dinamakan demikian karena motifnya memiliki pola seperti paku. Berarti cakar ayam atau kaki bagian bawah. Cakar ini digunakan oleh ayam untuk bergerak dan mencari makanan atau sesuatu untuk dimakan. Nitik kuku motif yang dikenakan dalam pernikahan adat dimaksudkan untuk membantu pasangan hidup halal secerdas ayam mencari makan dengan cakarnya. Paku nitik dapat berdiri sendiri sebagai motif dan kain atau sebagai bagian dari motif kain tertentu, seperti motif Wirasat atau Sidorajat, yang juga sering digunakan dalam upacara pernikahan adat.
Motif Batik Solo (info Harga Jual Online Terbaru)
Batik dari Yogyakarta dengan motif truntum ciptaan Kanjeng Ratu Kenkana (Permaisuri Sunan Paku Buwan III) memiliki makna menumbuhkan kembali cinta. Ia menciptakan motif ini sebagai simbol cinta yang tulus tanpa batas, yang terasa abadi dan semakin subur (tumaruntum). Karena keistimewaannya, kain batik Yogyakarta motif truntum biasa dikenakan oleh orang tua kedua mempelai pada pesta pernikahan. Harapannya agar cinta antara kedua mempelai semakin kuat. Kadang-kadang juga dijelaskan bahwa orang tua berkewajiban untuk “memimpin” suami dan anak perempuannya menuju kehidupan baru.
Batik Yogyakarta dengan motif semen dimaknai sebagai penggambaran “kehidupan sejahtera”, yaitu kehidupan yang menggambarkan kemakmuran dan pembangunan dalam konteks positif ke arah yang lebih baik. Ada beberapa jenis ragam hias dasar dalam motif semen, yaitu:
Selain makna tersebut, kain batik Yogyakarta motif semen Rama sendiri sering dikaitkan dengan cerita rakyat Ramayana yang sarat dengan ajaran Hindu yaitu Hasta Brata atau ajaran kebajikan. delapan cara. Ajaran inilah yang menjadi nasehat atau nasehat utama bagi Romovijoyo Wibison ketika menjadi raja Alengka di Kings. Ringkasan: Motif “Semen Romo” mengandung bacaan tentang sifat-sifat dasar yang harus dimiliki seorang raja atau pemimpin rakyat.
Batik asal Yogyakarta dengan motif gurda atau garuda sering dipadukan dengan motif batik lain seperti batik sawat dan disebut sawat gurdo. Motif Gurda mudah dipahami karena selain bentuknya yang sederhana, variasinya tidak terlalu banyak sehingga gambarnya sangat jelas. Kata Gurda berasal dari garuda, yaitu nama burung besar yang memegang posisi sangat penting dalam kehidupan masyarakat Jawa, khususnya di Yogyakarta. Bentuk motif labu ini terdiri dari dua sayap, dengan badan dan ekor di antaranya. Menurut masyarakat Yogyakarta, burung ini dianggap sebagai hewan keramat.
Motif Batik Solo Yang Dijadikan Oleh Oleh Sesuai Kebutuhan Teman
Batara adalah kisah kenaikan Wisnu ke Nirwana dengan menunggangi burung Garuda. Artinya burung itu kuat tanpa dipelajari oleh siapapun, selalu dianggap sebagai burung yang muncul tanpa sayap. Adapun cerita asal usul Garuda sebagai kendaraan Sang Hyang Visnu, informan mengatakan bermula saat Garuda dan para dewa berperang. Para dewa bisa saja kalah dalam pertempuran ini, sehingga mereka mencari bantuan dari Sang Hyang Wisnu, yang kemudian bertemu dengan burung Garuda. Dalam pertemuan itu, terjadi perselisihan di antara mereka. Setelah para dewa dikalahkan, burung Garuda menawarkan kepada para dewa untuk menyerahkan semua permintaan yang akan diajukan Garuda nanti. Akhirnya Sang Hyang memohon kepada Wisnu agar Garuda bersedia menjadi kendaraannya dan membawanya kembali ke surga Loka (tempat tinggal para dewa).
Menurut masyarakat Yogyakarta, Sang Hyang Visnu sering disebut Sang Surya yang berarti matahari atau dewa matahari. Menurut cerita di atas, Garuda menjadi gunung dewa matahari, Garuda juga digunakan sebagai lambang matahari. Selain itu, Garuda juga dianggap sebagai simbol kejantanan. Dasar pemikirannya, Garuda sebagai simbol matahari dipandang sebagai sumber utama kehidupan, tetapi juga merupakan simbol maskulinitas, dan diharapkan selalu menerangi kehidupan manusia di dunia. Inilah alasan mengapa orang Yogyakarta menggambarkan burung keramat ini dalam kain batik Yogyakarta.
Ciri khas makanan jogja, baju batik khas jogja, baju ciri khas jogja, ciri khas kota jogja, motif batik khas jogja, batik khas jogja, ciri khas gudeg jogja, ciri khas jogja, ciri khas batik indramayu, kain batik khas jogja, ciri khas batik lasem, gambar batik khas jogja